Bukan untuk Valentine Saja
oleh: Iin Sugiarti
Sepulang sekolah, dengan baju yang agak basah karena keringat, kususuri trotoar jalanan. Tiba-tiba terlintas perjanjian dengan teman yang tanpa sengaja kuterima tadi di sekolah. “Lent, besok kan sekolah kita akan mengadakan pentas seni untuk acara Valentine, bagaimana kalau kita taruhan aja. Siapa yang datang dengan pasangannya dan bisa membuat murid-murid seisi sekolah kagum, dia berhak menjadikan yang kalah taruhan sebagai budak selama 1 bulan”.
Aku tersadar dari lamunan itu ketika kurasakan benda kasar menyenggolku. Tubuh mungilku terpental membentur jalanan. Aku merasa sakit di bagian kaki kananku, sehingga aku tak mampu menegakkan tubuhku. Tiba-tiba seorang cowok memapah tubuhku. Ingin rasanya aku melampiaskan kekesalanku pada cowok yang menabrakku, namun niat itu hilang ketika aku melihat wajah tampannya. Dengan sentuhan tangannya yang besar, dia menggendongku ke dalam mobilnya.
Lamunanku kembali ketika deru mobil terdengar sangat membisingkan telingaku. Dengan perasaan bingung, aku memberanikan diri bertanya kepada pengemudi mobil yang kutumpangi.
“Aku mau dibawa kemana?”, tanyaku padanya. Raut cemas menghiasi wajahnya yang tampan.
“Kita harus pergi ke rumah sakit untuk mengobati lukamu”,jawab cowok tampan yang sekarang sudah sibuk menghidupkan mesin mobilnya. Tiba-tiba terbersit ide untuk memenangkan taruhan yang kuterima tadi di sekolah.
“Tidak usah. Kau tak perlu membawaku ke rumah sakit. Jika kau memang merasa bersalah, lebih baik kau membantuku saja”, sahutku.
“Bantu……..?? Maksudmu???”, jawab cowok itu dengan raut wajah yang tampak semakin bingung. Lalu aku mulai menjelaskan tentang taruhan itu kepadanya. Awalnya dia enggan untuk menolongku, namun aku tetap memohon padanya dengan muka yang memelas. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, cowok itu mengabulkan permintaanku. Wajahku yang tadi cemas berubah menjadi ceria karena jawaban yang dikatakan oleh cowok itu.
“Namamu siapa???”,tanya dia padaku.
“Valentina. Panggil saja Valent, kamu???”,,jawabku.
“Vino…………”,sahutnya.
Akhirnya, aku pun terlibat percakapan dengannya. Kami saling bertukar nomor handphone dan dia mengantarku pulang.
***
Sekitar pukul 20.25, handphoneku berdering. Kulihat di layar handphoneku “Vino calling”. Tanpa basa-basi lagi, aku angkat telfon itu dan aku pun terlibat percakapan dengannya. Selang 15 menit, telfon itu terputus. Aku pun bergegas tidur karena besok pukul 09.00 Vino akan menjemputku.
Keesokan paginya, aku begitu bersemangat dan segera bersiap-siap untuk pentas seni Valentine itu. Sesat setelah aku siap, Terdengar bunyi klakson memekakkan telinga. Aku segera keluar karena aku mengenal kalau suara itu adalah suara mobil Vino. Kemudian kami pun berangkat menuju sekolahku.
Setiba disana, aku turun dari mobil dengan menggandeng tangan Vino menuju kerumunan teman-temanku. Semua orang menatapku dan Vino yang kelihatan begitu mesra. Seseorang menghampiriku dengan senyuman sinis, dia mengulurkan tangan dan berkata,”Selamat. Lo dah menangin taruhan kita.” Aku pun menikmati penta seni Valentine itu dengan perasaan bahagia.
Setelah acara selesai, kira-kira pukul 20.00, aku dan Vino pulang. Selang 20 menit, kami pun tiba di depan rumahku. Sebelum turun dari mobilnya, aku memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sebenarnya berat kuungkapkan.
“Vin, makasih atas bantuan lo hari ini., mungkin hubungan kita berakhir sampe disini”, kataku. Tanpa basa-basi lagi, akupun segera masuk kedalam rumah tanpa melihat Vino. Sambil terus berjalan, aku mendengar suara mobil Vino yang semakin jauh dari rumahku dan akhirnya menghilang.
Sesampainya di kamar, aku merebahkan tubuhku. Terlintas di benakku bayang-bayang Vino. Tanpa sengaja kutekan tuts number Vino.
“Halo....”, sapa seseorang di seberang sana.
“Ternyata aku tidak bisa mengakhiri hubungan kita”, kataku.
“Aku juga merasa apa yang kamu rasakan saat ini”, jawab seseorang disana. Ku tekan tombol eject dan segera tertidur pulas dengan perasaan senang.
1 comments:
akan semakin lengkap jika datang dengan penampilan cntik dari biasanya :)
ReplyPost a Comment